Jumat, 06 Mei 2011

Lebih dari sekadar Peringatan Hari Pendidikan Nasional




Lebih dari sekadar Peringatan Hari Pendidikan Nasional
“2 Mei, setiap tahun kita selalu memperingatinya sebagai hari pendidikan nasional. Namun apakah kita mampu mnyelami makna apa yang kita ‘pelajari’ dari memperingati peringatan tersebut?”
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa setiap tahun, pada tangga 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati hari yang melambangkan kebangkitan pendidikan di Indonesia, Hari Pendidikan Nasional. Setiap tahun pun selalu terdengar suara-suara yang sama. Pemerintah dengan gencarnya mempropa gandakan “pendidikan yang lebih baik, pendidikan untuk semua, pendidikan murah”. Mahasiswa pun dengan gencarnya berteriak “tolak komersialisasi pendidikan, tuntut pendidikan murah, pendidikan untuk semua”. Namun realita yang ada sampai saat ini, masih terdengar suara orang tua siswa yang memekik karena biaya pendidikan yang kian mencekik, masih terdengar guru yang menjerit karena kebingungan dengan kebijakan pendidikan yang terus berubah, masih juga terdengar suara anak-anak yang berkeliling sambil membawa dagangan (asongan), mengamen, bahkan meminta-minta, padahal mereka seharusnya menikmati pendidikan yang menjadi hak mereka. Karena secara jelas pada UUD 1945 pasal 31 ayat (1) berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, kemudian pada pasal (2) dilanjutkan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Setiap tahun pula, setiap peringatan hari pendidikan nasional, selalu ramai terdengar ungkapan penuh semangat, dengan “semangat hari pendidikan nasional” yang muaranya nantinya adalah “pendidikan yang lebih baik” baik yang diserukan oleh instansi pemerintah, maupun mahasiswa. Namun sampai saat ini
pendidikan di Indonesia masih saja terpuruk. Kemudian muncul pertanyaan, kesemangatan seperti apa yang dimaksud? Apakah kesemangatan yang hanya muncul pada suatu momentum berupa upacara maupun unjuk rasa tanpa ada tindak lanjut yang kontinu? Ataukah kesemangatan agar “terlihat” bahwa dia peduli akan pendidikan? Ataukah semangat yang hanya semangat saja tanpa dibarengi dengan aksi dan komitmen yang nyata?
Akan menjadi sebuah kemunafikan ketika pemerintah menyerukan “pendidikan terjangkau” namun pada kenyataannya justru yang terjadi adalah banyaknya pungutan biaya ini-itu yang harus dibayarkan oleh orang tua siswa dengan alasan yang bermacam-macam. Akan menjadi sebuah kemunafikan ketika pemerintah menyerukan “pendidikan untuk semua” namun tidak disertai pemerataan pembangunan pendidikan agar anak-anak bangsa di pedalaman dapat menikmati pendidikan yang layak. Akan menjadi sebuah kemunafikan pula ketika pemerintah menyerukan “perbaikan pendidikan” namun kenyataannya masih banyak gedung dan infrastruktur pendidikan yang hampir rubuh dan ternyata peringkat pendidikan Indonesia yang semula berada di peringkat 65 dari 127 negara, kini berada di peringkat 69 dari 127 negara. Dan menjadi kemunafikan pemerintah pula ketika di UUD 1945 mencantumkan pemerintah wajib memenuhi hak rakyat atas pendidikan namun masih banyak anak-anak bangsa yang kehilangan kesempatannya karena keadaan.
Di sisi lain, aka menjadi kemunafikan pula ketika mahasiswa menyerukan “perbaikan pendidikan” namun mereka tidak menyertainya dengan amal yang nyata. Hanya semangat dalam menuntut namun nihil dalam kontribusi perbaikan. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah terkait kompetensi pendidik. Bagaimana mungkin ada perbaikan pendidikan ketika calon pendidiknya saja gagal dalam pendidikan? Bagaimana mungkin akan ada perbaikan pendidikan jika tidak ada teladan dari “kelompok” yang dinilai memiliki pendidikan (dalam hal ini mahasiswa)?
Kiranya belajar dari apa yang terjadi terhadap pendidikan lebih esensial dari pada memperingati apa yang diperingati. Karena jika tidak, peringatan hanya akan menjadi aktivitas seremonial belaka. Pertanyaannya apakah kita sudah belajar dan mempelajari secara mendalam?
Memperingati Hari Pendidikan Nasional, ‘memperingatkan’ kita terhadap tekad, sikap, komitmen, dan aplikasi cerdas pendidikan sebagai tanggung jawab bersama serta mengubah sikap munafik pada diri kita. Pendidikan bermakna lebih tinggi dari sekadar belajar. Memperingati berarti kita belajar menjadi pembelajar. Untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik.
hanya sebuah refleksi, hanya sebuah perenungan saja.
muhammad nurkholis

1 komentar:

Your article is very interesting, thank you ..


ST3 Telkom

Posting Komentar

Al-Qur'an, Fushshilat: 46 "Whosoever does righteous good deed, it is for (the benefit of) his own self; and whosoever does evil, it is against his own self. And Your Lord is not at all unjust to (His) servants."

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More